Monday, June 14, 2010

Mercedez 12 Jendela, idola masyarakat kota…


“mungkin ini nasib orang yang tak punya.. ke manapun… naik bis kota…”
Penggalan lagu Hari Moekti yang cukup akrab di telinga masyarakat pada tahun 80-an ini bukanlah sekedar imajinasi namun realita yang terangkat dari kenyataan banyak orang. Bis kota sudah menjadi salah satu moda transportasi yang lekat dengan mobilitas masyarakat banyak. Kota-kota besar so pasti memiliki bis besar dan digunakan sebagai angkutan dalam kota. DAMRI adalah salah satu perusahaan transportasi yang didirikan pemerintah untuk melayani publik. Di Jakarta, di mana saya lama bermukim, masih ada beberapa bis kota yang branded seperti Mayasari, Bianglala, Deborah dan sebagainya.
Bis kota dalam kota ini masih terbagi dalam kategori dan menentukan tarif yang harus dibayar penggunanya. Istilah PATAS alias Cepat Terbatas tidak tampak jika kita menumpang bis dengan criteria ini. Masih saja berdesakan dan cepat adalah kata pengganti dari ugal-ugalan. Jika ingin merasakan beda, Anda harus membayar lebih namun tetap tidak luput dari resiko kecopetan atau dilecehkan.
Bicara copet tentu kata pertama yang muncul di benak kita adalah bis kota. Copet sudah menjadi resiko yang diantisipasi oleh penumpang, jika sampai harus mengalami memang artinya sial atau kita lalai. Jarang pelaku copet ini ditangani secara hukum, jika ketahuan sanksi sosial berupa cemoohan sampai bogem mentah dari banyak orang harus siap ditanggung oleh pencopet. Kalau pelecehan lebih susah lagi. Dilema kaum perempuan memang, kalau teriak nanti malu tapi tidak teriak juga harga diri rasanya sedang dicabik-cabik.
Hanya itu sajakah gambaran bis kota? Tidak juga kok. Kadang kita bisa lebih cepat dan jauh lebih murah jika menggunakan bis kota. Misalnya saya yang berdomisili di Rawamangun hendak menuju Lebak Bulus. Jauhnya mah amit-amit kalau kata orang. Kalau saya bawa kendaraan siap-siap saja lelah, macet paling tidak harus mengeluarkan ongkos tol yang mahal itupun belum lagi bensinnya. Dengan 2x bis kota dan keduanya melalui tol, saya cuma menghabiskan 5 ribu perak. Bisa tiduran, cepat dan irit. Sekedar informasi, tidak sedikit orang membawa kendaraan dari rumahnya namun nanti akan menitipkan kendaraannya di mana lalu menyambung dengan bis kota atau kendaraan umum lain. Pulangnyapun begitu, naik kendaraan umum lalu ambil mobil di tempat parkiran paginya terus pulang deh ke rumah. Bayangkan saja jika membawa mobil sendiri misalnya, Anda harus siap untuk biaya parkir, tol, bensin atau valet. Belum lagi capeknya dan ribet mengantri karena parkiran penuh atau macet di jalan.
Sekarang mungkin berbeda dengan jaman dulu di mana teknologi belum semarak saat ini. Masyarakat sekarang cenderung lebih apatis dengan posel atau mp-3 player sehingga cuek dengan sekitarnya. Anda cobalah untuk meminjamkan telinga Anda karena kadang-kadang kita bias menguping pada hal-hal menarik ataupun lucu. Saya teringat beberapa waktu lalu ketika menaiki sebuah bis Damri yang lumayan sesak. Seorang ibu sedang menelepon temannya dengan suara yang bisa didengar sekampung. Berikut petikan pembicaraanya.
“…eh ayo buruan.. Cuma hari ini saja beli Teh Botol 4 krat dapat gratis 2 krat. Ini gw lagi mau ke tokonya ngambil 20 krat. Jadi berapa tuh dapatnya? Bentar… Kalo 4 terus kalo 5.. nah gratisan deh 10 krat jadi gw dapat 30 krat.. bener ga itu itungannya? Ya segitulah…”
Saya tersenyum saja mendengarnya, dalam hati saya berpikir andaikan saya pedagang tentu akan mengikuti ibu tersebut untuk membeli juga. Atau sekedar mendengar pembicaraan ala masyarakat umum tentang isu terhangat tentu dengan pendapat mereka masing-masing dan terkadang debat yang terjadi lebih lucu daripada hiburan di televisi. Ya, tanpa meluputkan kewaspadaan, kita tetap bisa sebenarnya menikmati suasana umum ini. Bagi Anda pekerja kreatif tidak menutup kemungkinan Anda akan menemukan ide-ide menarik selama menumpang bis kota atau jika Anda seorang pencari bakat tudak mustahil juga Anda bisa menemukan artis berbakat yang tampol dalam pertukannya di dalam bis.

Recent Issue : PELECEHAN BUSWAY
Belakangan marak diberitakan soal pelecehan yang terjadi di bus Trans Jakarta ebberapa waktu yang lalu. Selain pelakunya dihadapkan dengan hukum, terjadu juga perubahan yang diinisiasi oleh pengelola bus Trans Jakarta yakni dengan membuat pemisahan antrian masuk di halte-halte berdasarkan gender. Buat sebagian orang mungkin ini bagus dalam mengantisipasi terjadinya pelecehan terhadap perempuan. Anda tahu apa yang ada di benak saya? PEMBODOHAN! Karena terus terang saja, penanganan jenis ini tidak akan membuat jera para pelaku lainnya. Pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana dengan transportasi umum lainnya? Apa yang harus dilakukan dengan para peleceh-peleceh di kereta, angkot atau bus kota lain? Bagi saya ini tidak mendidik! Seharusnya bukan hal teknis yang dicarikan solusinya tetapi bagaimana merubah mindset orang agar tidak melakukan. Tindakan hukum jelas yang paling efektif dan harus diedukasi dengan tepat kepada masyarakat sehingga nantinya tidak ada yang dirugikan dan tetap member perlakuan adil bagi siapapun. Kalau sekedar pemisahan antrian terus menambah petugas keamana saya piker hanya akan membangun kreatifitas baru bagu para pelakunya dan bukan tidak mungkin peristiwa ini akan berpindah modus lokasi, tidak lagi di angkutan umum tetapi di tempat lain. So, bagaimana?

Bis kota menjadi salah satu jawaban penting akan kebutuhan masyarakat terutama bagi yang belum memiliki kendaraan. Tidak seseram dan buruknya gengsi jika kita memakai bis kota. Enjoy sajalah dengan berbagi ruang bersama penumpang lain. Itung-itung kita sedang me-maintain nilai sosial yang mulai pudar seiring jaman. Siapa tahu ketemu jodoh kan? Atau setidaknya ada kenalan baru dan bisa menemani kita berbincang selama perjalanan. Selamat berpetualang!

1 comment:

  1. jadi apa bis nya dari rawamangun ke lebak bulus??? atau sebaliknya, terminal lebaka bulus ke terminal rawamangun (atau lewat arion rawamangun). terimakasih

    ReplyDelete