Friday, June 18, 2010

Gerakan sejuta Facebooker: Berdirinya Parlemen Online

Akhir tahun 2009, kriminalisasi terhadap 2 petinggi KPK menjadi sorotan utama selama berminggu-minggu. Berawal dari dugaan suap terhadap mereka yang dilakukan oleh pengusaha, isu ini menjadi sangat santer dan menyita perhatian publik. Puncak yang ditunggu masyarakat adalah pernyataan SBY dalam menanggapi polemik yang berkepanjangan ini.

Tak lama isi ini mencuat, timbullah sebuah gerakan moral melalui situ jejaring sosial Facebook bertajuk “Gerakan Sejuta Facebooker mendukung Bibit-Chandra”. Sontak dalam waktu yang tidak lama ramai-ramai pendukung grup ini kian bertambah setiap harinya. Penggagas gerakan ini adalah seorang pengajar dari Palembang. Berangkat dari keprihatinannya yang menganggap Bibit-Chandra sebagai upaya pelemahan demokrasi dan pemberantasan korupsi. Laman grup Facebook gerakan ini menampilkan opini dari berbagai individu dan memperbesar porsi pemberitaan di media. Gerakan ini pulalah yang menggiring opini umum sehingga dalam pernyataan presiden alasan sosiologislah yang menjadi pertimbangan dalam menengahi kasus Bibit-Chandra.

Lain pula dengan kasus Prita Mulyasari. Ketidakadilan yang dia terima akibat curhatan mengenai dugaan malpraktek yang ia alami dari sebuah rumah sakit telah mengundang simpati dari banyak orang. Grup-grup yang mendukung langkah Prita dalam konflik dengan rumah sakit tersebut ternyata memberi efek luar biasa sampai terciptanya program “Koin Prita Mulyasari” untuk membayar denda yang diputuskan pengadilan. Jumlahnya mencapai lebih dari 600 juta rupiah, jauh melebihi denda yang dijatuhkan padanya. Jaringan dalam dunia maya sudah menjadi palu terakhir dalam upaya memperoleh keadilan.

2 contoh di atas menunjukkan betapa “people power” mampu menciptakan perubahan dan gerakan perlawanan atas suatu tindakan yang dianggap menjatuhkan seseorang. Media kerap menjuluki gerakan ini dengan sebutan parlemen online. Dukungan yang hanya tertuang dalam media jejaring di internet ini sudah menjadi budaya baru. Bukan hanya grup yang mendukung tetapi grup-grup yang anti dengan pihak atau isu tertentupun banyak menjamur.

Pemandangan ini tentu menjadi potret dari keterbatasannya akses masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan turut menetukan kebijakan-kebijakan dan perubahan formal. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tiap kebijakan yang dibuat selalu berpatokan pada deal-deal politik antara pihak legislative, eksekutif dan yudikatif. Suara rakyat hanya dipinjam sekali dalam 5 tahun untuk menentukan posisi dalam ketiga badan tersebut. Setelah itu, parlemen jalanan ataupun parlemen online yang sering menjadi media aspirasi masyarakat.

Ketidaksetujuan public akan suatu kebijakan ataupun situasi nasional seringkali tidak tertampung dengan baik meskipun seluran-saluran aspirasi melalui forum formal di dewan-dewan perwakilan sudah diberikan. Seringkali aspirasi murni ini terhalang oleh kepentingan pemangku kebijakan itu sendiri sehingga masyarakat seakan putus asa bahkan apatis dan memilih untuk menyalurkan aspirasinya melalui dunia maya, ya parlemen online yang tidak memiliki kekuatan hukum namun dapat menjadi gerakan moral yang mampu menggelitik dan mengajak kepedulian masyarakat lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah cara ini yang akan menjadi budaya baru sementara akses rakyat dalam penentuan nasib bersama hanya menguap atau menjadi wacana komoditas pihak-pihak yang berkepentingan? Ya, setidaknya gerakan moral ini mampu menunjukkan rasa solidaritas, gotong royong, tepo seliro dan sebagainya yang tertuang dalam butir-butir Pancasila. Klasik sekaligus klise, tapi inilah nilai yang mulai tergerus dengan paham-paham politik dan demokratisasi dari luar sehingga nilai yang seharusnya kita terapkan, dibagun dari budaya dan kearifan lokal bangsa ini tetap menjadi dasar utama dalam hidup bermasyarakat.

No comments:

Post a Comment