Tuesday, June 29, 2010

Kereta Parahyangan ; Ular Besi dengan Segudang Memori

Tepat pada tanggal 26 April 2010, kereta api Parahyangan melakukan rangkaian jadwal perjalanannya yang terakhir setelah lebih dari 30 tahun melayani perjalanan masyarakat dari Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia tentu tidak memiliki proximity dengan keberadaan kereta ini tetapi bagi mereka yang pernah ataupun sering bepergian menggunakan jasa KA Parahyangan tentu memiliki ikatan emosianal yang kental.
Pembukaan jalur tol Cipularang yang mempersingkat waktu tempuh antara Jakarta dan Bandung telah membuka celah bagi menjamurnya usaha perjalanan dengan memakai minibus atau lebih sering disebut travel. Waktu tempuh inilah yang membuat banyak orang berpindah hati yang tadinya rajin menumpang KA Parahyangan berganti dengan travel meskipun harganya jauh lebih tinggi dibanding tarif kereta. Kondisi ini berakibat pada pemasukan KA Parahyangan yang sebelumnya menjadi idola masyarakat berubah menjadi moda alternatif jikalau kehabisan travel atau tidak ingin terkena macet di jalan tol. Harga tiketpun diturunkan sebanyak 30% dari semula namun tetap tidak sanggup meraih kembali pelanggan yang telah berbelot pada travel ataupun sudah lebih sering menggunakan kendaraan pribadinya. Kerugian menjadi tidak terhindarkan dan tepat 5 tahun dibukanya tol Cipularang, KA Parahyangan akhirnya menyerah dengan catatan kerugian yang banyak. Sepak terjangnyapun kini menjadi sejarah.
KA Parahyangan bukanlah satu-satunya kereta yang melayani Jakarta-Bandung PP, masih ada rangkaian kereta eksekutif bernama KA Argo Gede tentu dengan ongkos sedikit lebih mahal. KA Parahyangan juga memiliki gerbong eksekutif ber-AC selebihnya adalah gerbong kereta bisnis dengan kipas angin yang anginnya diganti melalui bolongnya kaca-kaca jendela atau sepoian semerbak rokok dari penumpang lain. Gerbong favorit saya tentu gerbong restorasi yang bisa duduk seperti di bar dan dekat dengan sumber makanan minuman serta ramainya orang.
Anda mungkin bertanya, apa sih istimewanya KA Parahyangan ini?
Dari pengalaman saya berkali menumpang KA Parahyangan, saya selalu memiliki teman ngobrol dan rata-rata hubungan singkat menjadi teman seperjalanan ini setidaknya saling meninggalkan nomor telepon. Perjalanan 3 jam ternyata menjadi durasi ideal dalam membuka suatu pertemanan baru. Saya bahkan dapat bertukar proyek pekerjaan dengan seseorang yang saya kenal di KA Parahyangan. Tidak membosankan dan sangat meninggalkan kesan. Ini berbeda ketika menumpang kereta dengan jarak tempuh yang jauh misalnya ke Yogya yang kurang lebih 10 jam atau Surabaya sekitar 12-13 jam. Sulit rasanya membayangkan Anda mengobrol selama itu. Dalam 3 jam anggap saja 2 jam Anda pergunakan untuk berbincang, banyak topic yang bisa Anda bahas dan bisa saling berbagi informasi maupun pengalaman. Anda mau tahu fakta lain yang tidak sedikit mengalaminya? Entah berapa banyak orang yang menemukan jodohnya di KA Parahyangan ini.
Naik KA Parahyangan juga memberikan suguhan pemandangan yang indah. Perbukitan hijau, kebun teh, jurang-jurang dan tentu jalur Cipularang dengan mobil-mobil melaju kencang akan menemani perjalanan. Terowongan dengan durasi 1 menit juga akan Anda nikmati meskipun sisa bau jelaga mesin kereta akan terhirup tetapi Anda sedang melewati peninggalan Belanda yang dibangun dengan sejarah darah kerja rodi yang dikucurkan pendahulu kita lebih dari 100 tahun lalu. Satu hal yang pasti adalah jalur ini anti macet. Bersiaplah mentertawakan mobil-mobil yang terjebak macet di tol Cipularang dari dalam kereta.
Kalau sering menggunakannya, Anda akan mengenal para awak kereta yang khas dengan keramahan mereka. Tidak sulit bagi mereka untuk mengenali para penumpangnya meskipun mereka melihat Anda untuk kali kedua menumpang di kereta yang sama. Kebanyakan dalam perjalanan yang saya tumpangi, saya rela membiarkan tempat duduk jatah saya kosong dan memilih berada dalam kereta makan (restorasi) karena suasananya akrab dan bisa mengobrol dengan penumpang lain berikut awak kereta.
Dalam KA Parahyangan disediakan juga makanan dan minuman dengan harga yah tidak terlalu mahal. Soal rasa tidak mengecewakan juga. Keakraban yang saya rasakan ini pulalah yang saya yakini telah menjadi memori tersendiri bagi banyak orang. Saya pernah menemukan salah satu petugas kereta yang telah bekerja selama belasan tahun. Tidak terlalu tua namun berbicara dengannya jauh terasa nyaman dibanding berdebat dengan anggota DPR dalam membicarakan masalah negara. Sangat cerdas jika kita mengukur dari kedudukan dia sebagai seorang PNS di perusahaan umum kereta api. Tak jarang saya mendapatkan minuman gratis alias tanpa bayar jika para awak dapur terlihat enjoy mengobrol dengan saya. Kali lain saya bisa mengobrol dengan mahasiswa, orang tua, pensiunan tentara, Paspampres, pekerja IT, polisi, mba-mba kantoran, penyanyi kafe, ibu rumah tangga, siapa saja. Pengalaman dan cerita-cerita dari banyak orang inilah yang selalu saya syukuri.
Dosa yang pernah beberapa kali saya perbuat adalah tidak membeli karcis. Heheheheehe… Tidak baik ditiru namun terkadang jika loket penjualan telah tutup dan kereta terakhir masih tersedia mau tidak mau kita harus membayar di belakang dan ssssttt… lebih murah lho. Dulu saya melakukannya agar membayar lebih murah karena tiket sekitar 4-5 tahun lalu masih 45 ribu rupiah. Dengan kongkalikong saya cukup membayar antara 25-30 ribu rupiah. Pernah suatu ketika saya ingin berbuat lagi tetapi kondektur langganan saya memberitahukan bahwa aka nada razia penumpang di stasiun Purwakarta jadi saya harus punya karcis yang masih tersedia di tangannya tentu dengan harga normal, kalau tertangkap dendanya bukan main-main. 2 kali harga tiket perjalanan tersebut. Wah, saya tanya alternatif lain (karena tetap pengen murah) dan pak kondektur bilang saya kalau berhasil ngumpet sewaktu razia ya saya cukup bayar tarif belakang. Saya ambil resiko dan benar saja di stasiun Purwakarta kereta terhenti cukup lama. Belasan petugas termasuk Polsuska (Polisi Khusus KA) menggeledah setiap penumpang tanpa luput dan saya di mana? Ngumpet di ruang mesin bersama 1 orang nekat lainnya. Kami berdua dibantu salah seorang petugas cleaning service masuk ke dalam. Deru mesin memang bikin pusing tapi demi iritnya berongkos dan tentu hilangnya separuh harga diri kami tetap bersembunyi ala pejuang Indonesia diserang Kompeni. Setelah kereta berjalan barulah kami kembali ke gerbong diiringi tatapan orang-orang yang kami lewati. Jangan ditiru yah…
Setelah tol Cipularang dibuka, saya sendiri lebih banyak menggunakan mobil jika menuju Bandung. Setelah sekian lama akhirnya saya mencoba naik kereta lagi dan saya kaget ternyata harganya sudah jauh berkurang. Resmi, tanpa macet, pemandangan indah dan tentu saya tak perlu takut dirazia. Lumayan sedih juga melihat kursi penumpang yang banyak melompong bahkan di kala akhir pecan tidak lagi seramai dulu. Saya mengobrol dengan petugas yang ada dan mereka mengeluhkan kesepian ini. Tidak seperti dulu lagi paling hanya pelanggan setia saja yang rajin menumpang KA Parahyangan ini. Saya hanya berspekulasi saat itu bahwa tidak mungkin kerugian ini akan terus menerus ditanggung.
Di awal April terbetik kabar soal penutupan rute KA Parahyangan dan sontak saja menjadi ramai dibicarakan. Jadwal pemberangkatan kereta pengganti yakni KA Argo Parahyangan sudah ditetapkan mulai beroperasi tanggal 27 April 2010 artinya, sehari sebelumnya adalah perjalanan terakhir dari KA Parahyangan. Berbagai milis, status jejaring sosial ataupun pemberitaan media mulai berlomba menyampaikan kesan akan kereta yang sebentar lagi akan stop beroperasi. Klub fotografi, klub pecinta kereta ataupun pelanggan setia sudah ancang-ancang membeli tiket hari terakhir dan akan memadu kasih dengan kereta kesayangan ini. Benar saja pada tanggal 26 April 2010 pemberangkatan terakhir baik dari stasiun Gambir maupun dari stasiun Bandung diiringi dengan berbagai ekspresi dan juga air mata. Bukan kesedihan saja yang tergambar tetapi bagaimana orang begitu menyayangi kereta ini dengan kesan dan memori masing-masing bahkan dengan perubahan nasib yang didapat di KA Parahyangan. Tandatangan kondektur diburu layaknya superstar, foto bersama kereta dan awak kereta juga menjadi agenda wajib dan selama perjalanan di kereta para penumpang berbaur menjadi satu dalam kegembiraan komunal dan berubah menjadi keharuan ketika roda-roda besi itu mendekati tujuan akhir.
Ya, KA Parahyangan terakhir itu akhirnya berhenti di stasiun Bandung menandai berakhirnya sebuah perjalanan panjang. Malam yang menjadi saksi saat itu seakan menambah kelabu suasana jiwa para penumpang yang turun dengan berat hati. Melihat dan melambaikan tangan untuk pada kereta yang telah berjasa mengantarkan orang-orang mencapai tujuannya masing-masing.. terakhir kalinya…

p.s. Khusus untuk cerita ngemplang bayar karcis, jangan ditiru yah.. Saya minta maaf atas kesalahan saya…
Saat ini kereta Parahyangan sudah berganti rute menjadi KA Malabar yang melayani jalur Bandung-Malang PP. Anda masih dapat menikmati perjalan Jakarta-Bandung PP dengan menggunakan KA Argo Parahyangan, tidak berbeda kok dengan KA Parahyangan tetapi jadwal keberangkatan lebih sedikit dibanding dulu. Moga bermanfaat..

Friday, June 18, 2010

Kopi Luwak, hasil alam dengan proses alami

Gambar dari akhir cerita di film “The Bucket List” menunjukkan 2 buah kaleng kopi Luwak berisi sebagian abu dari 2 tokoh yang meninggal diperankan oleh Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Sepanjang film, kopi Luwak beberapa kali diucapkan oleh Jack Nicholson yang berperan sebagai pemilik rumah sakit yang sekarat namun tak lepas dari kopi Luwak meskipun dia tidak tahu proses pengolahan kopi Luwak. Dalam film-film asing, Balilah yang kerap membumbui naskah cerita namun tidak di dalam film yang bergenre drama komedi ini.

Luwak. Ya, luwak adalah sejenis musang yang disebut juga musang kelam. Kopi yang disebut kopi Luwak sebenarnya berasal dari kopi biasa namun uniknya kopi Luwak memiliki tambahan pengolahan yang membuat harganya sangat mahal dan menjadi kopi termahal di dunia. Bayangkan saja, untuk menyeruput secangkir kopi ini Anda harus merogoh kocek antara 100 – 200 ribu rupiah. Sekilonya diharga jutaan.

Apa sebenarnya yang dibayar untuk sebuah kenikmatan dari kopi Luwak? Tentu cita rasa khas yang tidak tertandingi. Cita rasa inilah yang berasal dari kontribusi luwak atau musang kelam itu. Luwak akan memakan biji-biji kopi yang matang kemudian melalui pencernaan alaminya, biji-biji kopi ini akan keluar lagi melalui pembuangan kotoran. Biji kopi dari kotoran luwaklah yang memiliki rasa nikmat dan mendongkrak harganya bahkan di dunia.

Jika kita membayangkan prosesnya mungkin ada perasaan geli bercampur jijik tapi kenikmatan yang sudah menanti kita sangat layak dicoba. Proses pencernaan di dalam kopi luwak ternyata merubah rasa yang biasa saja menjadi luar biasa. Susah menggambarkannya jika Anda tidak mencoba langsung.

Saat ini sedang dikembangkan penangkaran musang kelam untuk usaha kopi luwak. Biji kopi robustalah yang dipakai karena dianggap paling nikmat dengan olahan pencernaan sang luwak. Musang kelam sendiri selektif dalam memilih biji kopi yang akan dikonsumsinya. Musang kelam tidak akan mengambil biji yang mentah, mengkal ataupun yang terlalu matang. Inilah yang membuat aroma dan rasa kopi luwak akan menjadi sangat unik. Selebihnya, para penangkar akan memunguti kotoran musang kelam kemudian memisahkan biji-bijinya untuk diolah lagi menjadi bubuk kopi.
Adegan 2 buah kaleng bekas kopi luwak diletakkan di atas pegunungan mirip Himalaya itu seakan menggambarkan betapa tingginya nilai kopi yang berasal dari Sumatera ini.

Kopi luwak sudah menjadi komoditi internasional. Sungguh ironis, musang saja bisa membawa nama Indonesia mendunia. Kita bisanya kapan?

Mending bayar Goceng ah; Simbiosis mutualisme keberadaan DVD bajakan

Bajak laut yang sering merompak dan merampok kapal-kapal sudah menjadi ancaman bersama bagi orang-orang di komunitas samudera. Kapal-kapal kerap kali mewaspadai kehadiran para pembajak yang dikenal tidak segan-segan melukai korbannya. Kita mungkin jarang bertemu mereka tetapi entah Anda sadari atau tidak, kita sudah tidak asing sebenarnya dengan pembajakan. Bukan mustahil juga kitapun menjadi pembajak.
Mengunduh atau sering disebut men-download adalah aktifitas yang sudah sering kita lakukan. Lagu, film, foto adalah hal yang paling sering menjadi objek pengunduhan. Lagu misalnya, hanya dengan mengakses situs-situs tertentu kita sudah gampang mendapatkan lagu yang kita mau. Kita tidak menyadari bahwa tindakan ini merupakan pembajakan kepada hak kekayaan intelektual seseorang. Seharusnya kita menghargai dengan membeli CD albumnya pertanda kita benar-benar memiliki apresiasi terhadap suatu karya.

Saya teringat ketika jaman masih jadul. Saya adalah seorang yang selalu ingin membeli kaset dan rasanya nyaman sekali memiliki koleksi album kesayangan. Lebih senang lagi jika disisipin lirik dari lagu-lagu di album tersebut. Beda dengan saat ini, pertukaran data sudah menjadi aktifitas jamak masyarakat kita. Kemajuan teknologi yang menelurkan berbagai media penyebaran data seperti komputer, ponsel, flashdisk, blootooth dan sebagainya sudah menjadi saluran yang tak terelakkan. Di masa lalu jika saya ingin meng-copy lagu saya harus punya kaset copy-an dan tentu direkam secara real time. Kalau sekarang kan dalam 1 menit kita sudah bisa memiliki puluhan bahkan ratusan data/file sekaligus.

Fenomena lain yang tidak kalah menarik ataupun sudah basi mungkin adalah perdagangan DVD bajakan. Jika kita menilik harga sebuah kepingan DVD original di toko resmi maka harganya tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar 125 ribu rupiah. Harga yang sangat besar untuk menikmati tayangan film yang kita suka. Kalkulasi logis masyarakat yang membutuhi hiburan tentu akan lebih memilih kualitas satunya yang hanya berharga 5 ribu rupiah. Dengan 1 harga DVD asli kita sudah bisa mendapatkan 25 keping DVD bajakan atau 5 season sebuah serial. Harga inilah yang mendorong masyarakat berbondong memilih yang bajakan. Istilahnya, goceng aja udah puas…

Menonton di bioskop tidak diakses oleh semua lapisan masyarakat. Orang berbondong ke bioskop hanya untuk menonton film yang memang ditunggu atau sedang menjadi tren fenomenal. Nomat alias nonton hemat masih menjadi jadwal yang diincar oleh banyak orang selain akhir pekan sebagai ajang santai dan malam minggu. Tetap saja tidak mengurangi minat masyarakat untuk berlangganan dengan abang-abang DVD bajakan.

Himbauan dan kampanye yang dilakukan berbagai pihak untuk stop pembajakan tampaknya tidak berhasil karena kalah dengan daya beli masyarakat. Sosialisasi ini tidak berhenti, bahkan jika Anda menyadari bahwa kampanye anti pembajakan justru tertulis di cover DVD bajakan. Ironis memang! Lalu letak permasalahannya ada di mana? Hukum ekonomi yang berlaku adalah jika permintaan tinggi maka akan selalu ada pengadaan barang, begitupun yang terjadi dengan maraknya DVD bajakan. Masyarakat kita masih belum memiliki sense dalam menghargai suatu karya dan ini didukung pula oleh ketersediaan barang yang diinginkan oleh masyarakat.

Bagi saya, entah bagi Anda, negeri ini sudah sangat stressful kondisi masyarakatnya. Kehausan akan hiburan membuat celah-celah ekonomis baru. Kalau kita hitung-hitungan dengan adanya DVD bajakan, pedagang dan pembeli untung dan yang rugi hanyalah si empunya karya (dan berkurangnya pajak penerimaan negara). Susah mau menyalahkan siapa karena siklus krisis ini memang saling berkaitan. Daya beli lemah dipenuhi dengan harga yang terjangkau serta kualitas DVD bajakan sudah lumayan bagus dan tidak menyebabkan keluhan bagi penonton. Hebatnya lagi, tidak jarang pembeli memberikan garansi seandainya DVD itu rusak atau tidak bisa diputar. Dalam istilah kejamnya, kerugian bagi penghasil karya bukanlah hal yang dekat dengan perhatian dan jauh dari kepedulian kita.

Anda pasti bertanya, “Penulis ini macam suci saja sih? Emang situ ga pernah beli DVD bajakan apah?”. Ya, benar saya adalah salah satu pembajak itu. Mau bilang apa, saya sanggupnya cuma 5 ribu rupiah. Hehehe.. Ya, tetap saja tindakan saya ataupun Anda-anda ini tidak benar. Bagi saya hukum masalah nomor sekian, apresiasi terhadap penghasil karya seni itulah yang tidak boleh lepas dari kepedulian kita. Coba diciptakan slogan “Beli asli bermartabat, beli bajakan ya bertobat”, apakah aka nada perubahan? Hehehe.. Saya ragu mengingat budaya malu sudah tipis dalam karakter kita.
Maju terus karya seni anak bangsa…

p.s. Mudah-mudahan ada rezeki jadi saya bisa berhenti beli bajakan. Mungkinkah..?

Candi Plaosan

Nama Candi Plaosan mungkin kalah tenar dengan candi tetangganya, Prambanan. Letak keduanya tidak terlalu jauh hanya berkisar 1 km namun kemegahan dan kemahsyuran sendratari Ramayana sudah mendunia sehingga membuat nama candi Plaosan tenggelam. Berbeda dengan Prambanan yang merupakan candi Hindu, candi Plaosan adalah candi Buddha meskipun tidak sebesar candi Mendut dan Borobudur.

Memasuki areal candi Plaosan kita tidak dihadang dengan loket pembayaran sebagaimana biasanya areal wisata. Hanya ada kantor kecil menyerupai pos penjagaan dan Anda hanya cukup menuliskan di buku tamu. Selebihnya kerelaan Anda untuk memberi petugas yang berjaga. Saat saya mengunjungi candi Plaosan berdua dengan sahabat saya, kami hanya memberi sekedar uang lelah sebesar 5 ribu rupiah. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Plaosan.

Ketertarikan saya bermula dari rasa ingin tahu. 9 tahun sebelumnya saya pernah melakukan pengambilan gambar untuk documenter di candi Prambanan. Seorang rekan memberitahu bahwa ada juga candi kecil di sekitar wilayah itu namanya candi Plaosan. Saya menyinggahi tapi hanya melihat dari luar saja. Saya takjub karena pemandangannya sungguh menawan. Sebuah areal candi dengan 2 stupa besar di tengah-tengah kebun tembakau. Menakjubkan! Sayangnya saat itu saya sudah memiliki jadwal sehingga tidak sempat berlama-lama di sana. Sejak itulah saya bertekad untuk kembali lagi.

Kesempatan itupun akhirnya dating, saya mengajak sahabat gw yang akhirnya penasaran setelah mendengar cerita saya dulu. Cuaca yang agak mendung bukan menjadi halangan setelah sehari sebelumnya kami digagalkan oleh hujan deras. Tidak ada satupun pengunjung dan kami disambut dengan gerimis ringan dan keramahan petugas yang ada (berhubung kami mengaku untuk melakukan survey pembuatan sebuah documenter…hehehe..).

Masih ada tumpukan stupa yang agak berserak akibat gempa yang pernah menghantam Yogya. Kami langsung memasuki candi utama. Ukurannya yang tidak terlalu besar seakan lumayan ramah mengundang kami untuk masuk. Seiring hujan yang mulai menderas, kami masuk sekalian berteduh sembari menikmati arca-arca yang tertancap di dinding-dinding candi. Cahaya minimalis menambah atmosfir magis nan indah. Damai sekali rasanya meskipun sahabat saya agak takut-takut dengan keremangan di dalam candi. Ketika kami keluar, terlihat hamparan rumput hijau mengalasi areal candi Plaosan. Candi kedua terlihat indah dari sisi kami memandang. Relief-relief yang ada di luar terukir baik bercerita akan epic masa lalu dengan sinyal peradaban jaman tua. Sudut-sudut candi membentuk garis dimensi yang layak sekali diabadikan. Sayangnya tak satupun dari kami fotografer professional. Andaikan ya, sudah barang tentu kartu memori kamera akan terpenuhi dengan gambar-gambar yang bagus.

Jika Anda menyinggahi Yogya, jangan lupa untuk singgah ke candi Plaosan. Beda sekali suasana yang akan Anda rasakan dengan candi Prambanan atau Borobudur. Tidak ada suara riuh keramaian atau orang-orang yang menawarkan barang-barang. Tak perlu mengantri di loket, cukup arahkan kendaraan ke arah barat sedikit, bertanyalah pada orang sekitar yang ramah dan Anda akan menemui dan merasakan kenikmatan yang sudah kami dapatkan..

Gerakan sejuta Facebooker: Berdirinya Parlemen Online

Akhir tahun 2009, kriminalisasi terhadap 2 petinggi KPK menjadi sorotan utama selama berminggu-minggu. Berawal dari dugaan suap terhadap mereka yang dilakukan oleh pengusaha, isu ini menjadi sangat santer dan menyita perhatian publik. Puncak yang ditunggu masyarakat adalah pernyataan SBY dalam menanggapi polemik yang berkepanjangan ini.

Tak lama isi ini mencuat, timbullah sebuah gerakan moral melalui situ jejaring sosial Facebook bertajuk “Gerakan Sejuta Facebooker mendukung Bibit-Chandra”. Sontak dalam waktu yang tidak lama ramai-ramai pendukung grup ini kian bertambah setiap harinya. Penggagas gerakan ini adalah seorang pengajar dari Palembang. Berangkat dari keprihatinannya yang menganggap Bibit-Chandra sebagai upaya pelemahan demokrasi dan pemberantasan korupsi. Laman grup Facebook gerakan ini menampilkan opini dari berbagai individu dan memperbesar porsi pemberitaan di media. Gerakan ini pulalah yang menggiring opini umum sehingga dalam pernyataan presiden alasan sosiologislah yang menjadi pertimbangan dalam menengahi kasus Bibit-Chandra.

Lain pula dengan kasus Prita Mulyasari. Ketidakadilan yang dia terima akibat curhatan mengenai dugaan malpraktek yang ia alami dari sebuah rumah sakit telah mengundang simpati dari banyak orang. Grup-grup yang mendukung langkah Prita dalam konflik dengan rumah sakit tersebut ternyata memberi efek luar biasa sampai terciptanya program “Koin Prita Mulyasari” untuk membayar denda yang diputuskan pengadilan. Jumlahnya mencapai lebih dari 600 juta rupiah, jauh melebihi denda yang dijatuhkan padanya. Jaringan dalam dunia maya sudah menjadi palu terakhir dalam upaya memperoleh keadilan.

2 contoh di atas menunjukkan betapa “people power” mampu menciptakan perubahan dan gerakan perlawanan atas suatu tindakan yang dianggap menjatuhkan seseorang. Media kerap menjuluki gerakan ini dengan sebutan parlemen online. Dukungan yang hanya tertuang dalam media jejaring di internet ini sudah menjadi budaya baru. Bukan hanya grup yang mendukung tetapi grup-grup yang anti dengan pihak atau isu tertentupun banyak menjamur.

Pemandangan ini tentu menjadi potret dari keterbatasannya akses masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan turut menetukan kebijakan-kebijakan dan perubahan formal. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tiap kebijakan yang dibuat selalu berpatokan pada deal-deal politik antara pihak legislative, eksekutif dan yudikatif. Suara rakyat hanya dipinjam sekali dalam 5 tahun untuk menentukan posisi dalam ketiga badan tersebut. Setelah itu, parlemen jalanan ataupun parlemen online yang sering menjadi media aspirasi masyarakat.

Ketidaksetujuan public akan suatu kebijakan ataupun situasi nasional seringkali tidak tertampung dengan baik meskipun seluran-saluran aspirasi melalui forum formal di dewan-dewan perwakilan sudah diberikan. Seringkali aspirasi murni ini terhalang oleh kepentingan pemangku kebijakan itu sendiri sehingga masyarakat seakan putus asa bahkan apatis dan memilih untuk menyalurkan aspirasinya melalui dunia maya, ya parlemen online yang tidak memiliki kekuatan hukum namun dapat menjadi gerakan moral yang mampu menggelitik dan mengajak kepedulian masyarakat lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah cara ini yang akan menjadi budaya baru sementara akses rakyat dalam penentuan nasib bersama hanya menguap atau menjadi wacana komoditas pihak-pihak yang berkepentingan? Ya, setidaknya gerakan moral ini mampu menunjukkan rasa solidaritas, gotong royong, tepo seliro dan sebagainya yang tertuang dalam butir-butir Pancasila. Klasik sekaligus klise, tapi inilah nilai yang mulai tergerus dengan paham-paham politik dan demokratisasi dari luar sehingga nilai yang seharusnya kita terapkan, dibagun dari budaya dan kearifan lokal bangsa ini tetap menjadi dasar utama dalam hidup bermasyarakat.

Monday, June 14, 2010

Mercedez 12 Jendela, idola masyarakat kota…


“mungkin ini nasib orang yang tak punya.. ke manapun… naik bis kota…”
Penggalan lagu Hari Moekti yang cukup akrab di telinga masyarakat pada tahun 80-an ini bukanlah sekedar imajinasi namun realita yang terangkat dari kenyataan banyak orang. Bis kota sudah menjadi salah satu moda transportasi yang lekat dengan mobilitas masyarakat banyak. Kota-kota besar so pasti memiliki bis besar dan digunakan sebagai angkutan dalam kota. DAMRI adalah salah satu perusahaan transportasi yang didirikan pemerintah untuk melayani publik. Di Jakarta, di mana saya lama bermukim, masih ada beberapa bis kota yang branded seperti Mayasari, Bianglala, Deborah dan sebagainya.
Bis kota dalam kota ini masih terbagi dalam kategori dan menentukan tarif yang harus dibayar penggunanya. Istilah PATAS alias Cepat Terbatas tidak tampak jika kita menumpang bis dengan criteria ini. Masih saja berdesakan dan cepat adalah kata pengganti dari ugal-ugalan. Jika ingin merasakan beda, Anda harus membayar lebih namun tetap tidak luput dari resiko kecopetan atau dilecehkan.
Bicara copet tentu kata pertama yang muncul di benak kita adalah bis kota. Copet sudah menjadi resiko yang diantisipasi oleh penumpang, jika sampai harus mengalami memang artinya sial atau kita lalai. Jarang pelaku copet ini ditangani secara hukum, jika ketahuan sanksi sosial berupa cemoohan sampai bogem mentah dari banyak orang harus siap ditanggung oleh pencopet. Kalau pelecehan lebih susah lagi. Dilema kaum perempuan memang, kalau teriak nanti malu tapi tidak teriak juga harga diri rasanya sedang dicabik-cabik.
Hanya itu sajakah gambaran bis kota? Tidak juga kok. Kadang kita bisa lebih cepat dan jauh lebih murah jika menggunakan bis kota. Misalnya saya yang berdomisili di Rawamangun hendak menuju Lebak Bulus. Jauhnya mah amit-amit kalau kata orang. Kalau saya bawa kendaraan siap-siap saja lelah, macet paling tidak harus mengeluarkan ongkos tol yang mahal itupun belum lagi bensinnya. Dengan 2x bis kota dan keduanya melalui tol, saya cuma menghabiskan 5 ribu perak. Bisa tiduran, cepat dan irit. Sekedar informasi, tidak sedikit orang membawa kendaraan dari rumahnya namun nanti akan menitipkan kendaraannya di mana lalu menyambung dengan bis kota atau kendaraan umum lain. Pulangnyapun begitu, naik kendaraan umum lalu ambil mobil di tempat parkiran paginya terus pulang deh ke rumah. Bayangkan saja jika membawa mobil sendiri misalnya, Anda harus siap untuk biaya parkir, tol, bensin atau valet. Belum lagi capeknya dan ribet mengantri karena parkiran penuh atau macet di jalan.
Sekarang mungkin berbeda dengan jaman dulu di mana teknologi belum semarak saat ini. Masyarakat sekarang cenderung lebih apatis dengan posel atau mp-3 player sehingga cuek dengan sekitarnya. Anda cobalah untuk meminjamkan telinga Anda karena kadang-kadang kita bias menguping pada hal-hal menarik ataupun lucu. Saya teringat beberapa waktu lalu ketika menaiki sebuah bis Damri yang lumayan sesak. Seorang ibu sedang menelepon temannya dengan suara yang bisa didengar sekampung. Berikut petikan pembicaraanya.
“…eh ayo buruan.. Cuma hari ini saja beli Teh Botol 4 krat dapat gratis 2 krat. Ini gw lagi mau ke tokonya ngambil 20 krat. Jadi berapa tuh dapatnya? Bentar… Kalo 4 terus kalo 5.. nah gratisan deh 10 krat jadi gw dapat 30 krat.. bener ga itu itungannya? Ya segitulah…”
Saya tersenyum saja mendengarnya, dalam hati saya berpikir andaikan saya pedagang tentu akan mengikuti ibu tersebut untuk membeli juga. Atau sekedar mendengar pembicaraan ala masyarakat umum tentang isu terhangat tentu dengan pendapat mereka masing-masing dan terkadang debat yang terjadi lebih lucu daripada hiburan di televisi. Ya, tanpa meluputkan kewaspadaan, kita tetap bisa sebenarnya menikmati suasana umum ini. Bagi Anda pekerja kreatif tidak menutup kemungkinan Anda akan menemukan ide-ide menarik selama menumpang bis kota atau jika Anda seorang pencari bakat tudak mustahil juga Anda bisa menemukan artis berbakat yang tampol dalam pertukannya di dalam bis.

Recent Issue : PELECEHAN BUSWAY
Belakangan marak diberitakan soal pelecehan yang terjadi di bus Trans Jakarta ebberapa waktu yang lalu. Selain pelakunya dihadapkan dengan hukum, terjadu juga perubahan yang diinisiasi oleh pengelola bus Trans Jakarta yakni dengan membuat pemisahan antrian masuk di halte-halte berdasarkan gender. Buat sebagian orang mungkin ini bagus dalam mengantisipasi terjadinya pelecehan terhadap perempuan. Anda tahu apa yang ada di benak saya? PEMBODOHAN! Karena terus terang saja, penanganan jenis ini tidak akan membuat jera para pelaku lainnya. Pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana dengan transportasi umum lainnya? Apa yang harus dilakukan dengan para peleceh-peleceh di kereta, angkot atau bus kota lain? Bagi saya ini tidak mendidik! Seharusnya bukan hal teknis yang dicarikan solusinya tetapi bagaimana merubah mindset orang agar tidak melakukan. Tindakan hukum jelas yang paling efektif dan harus diedukasi dengan tepat kepada masyarakat sehingga nantinya tidak ada yang dirugikan dan tetap member perlakuan adil bagi siapapun. Kalau sekedar pemisahan antrian terus menambah petugas keamana saya piker hanya akan membangun kreatifitas baru bagu para pelakunya dan bukan tidak mungkin peristiwa ini akan berpindah modus lokasi, tidak lagi di angkutan umum tetapi di tempat lain. So, bagaimana?

Bis kota menjadi salah satu jawaban penting akan kebutuhan masyarakat terutama bagi yang belum memiliki kendaraan. Tidak seseram dan buruknya gengsi jika kita memakai bis kota. Enjoy sajalah dengan berbagi ruang bersama penumpang lain. Itung-itung kita sedang me-maintain nilai sosial yang mulai pudar seiring jaman. Siapa tahu ketemu jodoh kan? Atau setidaknya ada kenalan baru dan bisa menemani kita berbincang selama perjalanan. Selamat berpetualang!

Soekarno ; Cermin Sejarah Revolusioner nan Visioner


Kebangetan banget deh kalau kita sampai tidak tahu Bung Karno, salah satu tokoh proklamator negeri ini. Saya tak akan member biodata beliau karena Anda lebih baik percaya pada Wikipedia atau Google. Hal yang menggerlitik relung batin saya untuk memasukkan Soekarno sebagai harta karun Indonesia adalah pemikirannya berpuluh tahun lalu yang seakan menjadi ramalan mumpuni dengan realita yang kita hadapi saat ini. Apa sih? Mungkin itu pertanyaan di benak Anda.
Saat pemilu tahun lalu menyeruak isu bernama NEOLIB singkatan dari Neo Liberalisme. Dalam bahasa kita artinya Liberalisme Baru. Soekarno dulu sering menyebutnya dengan Nekolim alias Neo Imperialisme dan Kolonialisme mengacu kepada penjajahan bangsa asing namun dengan gaya yang baru. Hal yang terlihat dalam visi kenegaraan Soekarno adalah penjajahan yang bukan lagi mengandalkan fisik namun lebih dahsyat dari itu yakni penjajahan secara politis dan diplomatis tentu dengan tujuan sama, menguasai dan merampok kekayaan negeri ini bagi kepentingan sang penjajah.
Dalam visinya tersebut dan tentu melalui pembelajaran sejarah nan panjang, Soekarno memandang bahwa penggabungan kekuatan dengan negara-negara bersumberdaya banyak, pernah mengalami penderitaan serupa dan semangat akan pembebasan yang sama akan membawa sebuah kekuatan baru di luar dominasi negara-negara Barat. Cina dan India adalah sekutu paling pas di kawasan Asia ditambah Mesir dan negara-negara Afrika lainnya serta blok timur Eropa serta negara-negara Amerika Latin yang dinilai memiliki persamaan-persamaan tadi. Bukan sekedar wacana namun visi ini terealisir dalam pertemuan-pertemuan penting yang menghasilkan blok baru dan mampu menakuti bangsa-bangsa yang mulai merasa kepentingannya akan terusik. Lihat saja Konferensi Asia Afrika serta berdirinya ‘blok’ Non Blok. Hebatnya lagi, jumlah anggota Non Blok melebihi jumlah anggota PBB sebagai perhimpunan internasional terbesar saat itu.
Tak kurang tokoh penting sehebat Nehru, Joseph Bros Tito bahkan Fidel Castro yang jelas menentang AS bergabung dalam sudut pandang politik yang sama yakni kemandirian dalam menegakkan kedaulatan dan martabat bangsa tanpa didikte oleh negara-negara Barat. Wadah Non Blok dan Konferensi Asia Afrika menjadi ornament sejarah yang tak bisa dilepaskan dari kiprah Soekarno yang tampil di barisan terdepan dan menjadi motivator dan inspirator bangsa lain untuk melawan penjajahan gaya baru ini.
Seiring berkembangnya jaman dan mencairnya kekuatan gerakan ini, kita dapat melihat bahkan merasakan (hanya saja mungkin tidak menyadari) apa yang disebut penjajahan gaya baru alias Neolib atau Nekolim itu berada tepat bersama kita saat ini. Kemiskinan hanyalah salah satu jepretan gambar realita kondisi sekarang, kesenjangan sosial menjadi faktor penting sebagai media penghambat bersatunya rakyat, harga diri bangsa di forum internasional tidak akan lebih tinggi dari cap dan embel-embel “Negara Berkembang”, “Dunia Ketiga” atau “Kuda Hitam perekonomian dunia”.
Sejak jatuhnya Soekarno, kiblat Indonesia sudah jelas menganga ke mana dan tunduk dengan tawaran-tawaran yang mereka ajukan. Sekelompok penjual negara sudah berkomplot dengan para perampok itu dengan membuka gerbang selebar-lebarnya untuk mengeruk kekayaan yang ada di perut ibu pertiwi. Coba lihat saja dari emas, minyak, tanaman bahkan saking kreatifnya negeri inipun menjual manusianya untuk menambah pundi-pundi negara. Apa yang dirasakan rakyatnya? Kemiskinan, marjinalitas, kebodohan, tak mudah mendapat akses kesehatan dan pendidikan bahkan tak jarang harus mati sia-sia. Pernahkah kita membayangkan di saat pagi bangun dengan segarnya, sebelum berangkat kerja kita masih mampu berolahraga sejenak, melihat berita, membaca gossip sambil menyantap hidangan sarapan sementara di saat yang sama di pojok tanah Merah Putih sebelah mana ada bayi sakit meninggal tak tertolong karena tiadanya tenaga kesehatan yang memadai. Atau di saat makan siang kita secara bersamaan ibu dan anaknya mengais-ngais sampah mencari apa saja untuk dimakan karena perutnya kosong sedari kemarin. Seusai kerja kita pulang ke rumah disambut lagi oleh TV, internet atau majalah sambil makan malam dan menyeruput secangkir teh hangat sementara di saat itu ada sekeluarga yang masih berjalan kaki mencari emperan lain karena terusir dari emperan sebelumnya. Kita dapat tertidur pulas sementara banyak rakyat yang lain harus melacur atau tertidur dengan hujan, debu dan nyamuk. Lalu emas, minyak dan devisa yang masuk dalam kas negara itu ke mana?
Realita ini sudah terlihat jauh sebelum kita mengalaminya. Tindakan pencegahan sudah dirintis oleh Soekarno di tengah banyaknya kontroversi terhadap dirinya. Kita tak sendiri, saudara senasib kita seperti Indiapun mengalami hal yang sama. Cina mampu mengerahkan kekuatannya sebagai negara berpenduduk terbesar dan menggali potensi untuk lebih mengembangkan negerinya sendiri, terbukti saat ini Cina mampu menghasilkan krisis pada Amerika akibat kebijakannya menghentikan ekspor ke negeri Paman Sam itu. Yugoslavia terpecah mengikuti arus sejarah kehancuran komunisme di Eropa. Kuba yang tetap menjalankan ajaran Soekarno dengan perspektif Marxisme-nya konsisten dalam embargo internasional selama berpuluh tahun dan tetap dapat hidup meskipun diisolir dari pergaulan dunia. Miskin boleh namun martabat Kuba sebagai pembangkang dan mampu berdikari harusnya bisa menjadi inspirasi kita untuk mulai menumbuhkan nasionalisme dan kebanggaan, sebangganya Soekarno pada tanah airnya hingga rela mati dalam kenistaan yang disasarkan padanya.
Pertanyaan kita sudah banyak, PR menumpuk untuk lebih mensejahterakan rakyat kita ada di tangan kita sendiri tentu dengan perannya masing-masing. Selama ini kepentinganlah yang menjadi alat pemecah di antara rakyat yang senantiasa ditimbulkan dengan menggunakan perbedaan SARA. Andaikan Soekarno dikasih hidup sekali lagi, pasti dia langsung mati karena tak tahan melihat keadaan yang ada saat ini. Yah, ini hanya gambaran pribadi saya lho.
Buah pikiran Soekarno yang harusnya menjadi pedoman kita baik secara pribadi dan berbangsa adalah berdikari yakni BERDIRI DI KAKI SENDIRI.
JAS MERAH : Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah
Semoga masa depan kita lebih baik. Amin…

p.s. Apakah sekarang kita sedang berdipari alias berdiri di kepala sendiri? Hehehe…

Kebun Ngaret


Jika Anda mengira saya salah tulis, Anda salah. Kebun adalah kata yang mengartikan sekelompok tanaman produktif, hasilnya untuk dipanen. Ngaret berkata dasar ‘karet’ diambil dari salah satu jenis tanaman yang menghasilkan getah yang diolah menjadi material lentur lalu dalam istilah sosial menjadi suatu kegiatan yang disebut ‘ngaret’ yang berarti tidak tepat waktu.

Ah elo dasar dodol, dari 3 jam lalu kita nungguin lo nih. Jangan2 hobi NGARET si Anu dah nular nih…”

Demikian kalimat fiksi yang pernah kita dengar, ucapkan atau mungkin ditujukan pada kita. Ngaret sudah menjadi budaya tak resmi pada banyak orang, entah di seluruh dunia ataupun di negeri ini. Jangan salah, budaya ini memiliki waktunya sendiri yakni Jam Karet. Hehehehehe…

Ngaret tentunya tidak diinginkan menjadi kebiasaan pribadi oleh siapapun tetapi bagi sebagian orang ngaret ini harus mendapat pemakluman. Banyak alasan yang menciptakan orang menjadi tidak tepat waktu. Waktu seakan menjadi sesuatu yang murah karena tak jarang kita membatin pada diri sendiri,”ah..paling mereka lagi di jalan juga, 5 menit mah ga bakal ngaruhlah kalau telat..”. Ya, berbagai faktor dapat membuat kita ngaret. Tidak ada tekanan, tidak ada kerjaan, tidak punya janji, macet, belum setrika baju, malas, dandan dulu, demonstrasi, jadwal bentrok dan macem-macemlah. Nah, dari berbagai faktor tadi tentu kita dapat memisahkan yang mana alasan situasional dan yang mana menjadikan faktor tsb menjadi bagian dari karakter kita.

Waktu yang terbuang akibat kita ngaret bisa menjadi pengaruh buruk bagi orang lain dan jatuhnya jadi merugikan. Bagian inilah yang seringkali menjadi sumber kekesalan dan konflik. Ya kan? Hayo, coba diingat-ingat lagi. Hehehe.. Saya dulu sekelas dengan seorang seleb papan atas negeri ini. Kita bareng di beberapa kelas mengulang jadi sering bikin janji berdua terutama jika ada tugas. Dia ini sudah sangat terkenal dengan PUNCTUALITY-nya alias ON TIME BANGEDDSSS. Suatu saat kami janjian di kampus dan karena satu hal saya telat 3 menit dan telat ini tidak saya sebabkan juga. Buat saya yang bukan seleb tentu 3 menit bukanlah waktu yang lama dan akibat ketelatan super singkat ini dia langsung pergi meninggalkan saya karena ada jadwal lain. Kalau saja saya tidak mengerti dengan kesibukannya, sebagai teman pastinya gondok banget namun itu adalah konsekuensi dari sesuatu yang saya sudah tahu resikonya. Alhasil, kita janjian 2 hari kemudian dan jelas lebih banyak waktu terbuang, tenaga dan pastinya biaya.

Masalah ngaret menjadi sesuatu yang baik atau buruk kembali kepada pemakluman dan pengertian komunitas kita. Kalau dengan teman-teman umumnya maklum-maklum saja tetapi kita kan bersosialisasi tidak hanya dengan teman saja, bukan tetapi masih ada guru, pimpinan, rekan bisnis, klien, pejabat atau siapa sajalah. Baiknya kita mulai bisa memperlakukan siapapun dengan sikap kita yang selalu tepat waktu. Selain bisa menjadi contoh dapat pula menjadi posisi tawar kita agar orang lain tidak seenaknya mempermainkan waktu dengan kita.

‘Time is money’ alias ‘waktu adalah uang’ merupakan musuh utama ngaret. Seringkali kita tidak menyadari bahwa waktu sangat berharga. Berikut ada saya menemukan petikan kata-kata bagus dalam menghargai waktu.

To realize the value of ONE YEAR… ask a student who failed a grade

To realize the value of ONE MONTH… ask a mother who gave birth to a premature baby

To realize the value of ONE WEEK… ask the editor of a weekly newspaper

To realize the value of ONE HOUR… ask the lovers who are waiting to meet

To realize the value of ONE MINUTE… ask a person who missed the train

To realize the value of ONE SECOND… ask a person who just avoided an accident

To realize the value of ONE MILLIONSECOND… ask a person who won silver medal in Olympic

Yesterday is history

Tomorrow is mystery

Today is a gift that is why it’s called THE PRESENT

Dari sekarang kita usaha bersama agar ungkapan “namanya juga Indonesia, kalo ga ngaret mah bukan Indonesia namanya..” tidak lagi dipakai untuk menyeret negeri ini dengan sikap membudaya yang buruk.

Salam

p.s. Abis baca, jangan ngaret yah ngasih komennya… hehehe